Subscribe:

Pages

Kamis, 03 Februari 2011

Artikel

BAHASA SUNDA SEBAGAI BAHASA IBU WAJIB DILESTARIKAN
Oleh : Drs. Pipin Dasripin, M.Pd.

Bulan Februari mengingatkan kita akan hari yang sangat bersejarah bagi perkembangan bahasa ibu (basa indung). Karena pada bulan Pebruari ini tepatnya pada tanggal 21 Pebruari, UNESCO (United National Education, social, and Culture Organitation) menetapkan sebagai hari bahasa ibu internasional. UNESCO menetapkan hari bahasa ibu internasional, karena melihat betapa pentingnya bahasa ibu yang bukan hanya sebagai bagian dari kebudayaan yang harus dipelihara, tetapi merupakan alat berekspresi manusia dalam keberagaman. Selanjutnya, disadari pula bahwa keberadaan bahasa ibu saat ini berada pada suasana multibahasa, sehingga ada kemungkinan bahasa itu akan lenyap begitu saja. Itulah sebabnya warga dunia dianjurkan agar ikut memperhatikan bahasa ibu yang sekarang berada dalam suasana masyarakat multibahasa itu.
            Dengan ditetapkannya bahasa ibu internasional diharapkan suku bangsa yang berada di seluruh dunia menyadari adanya bahasa sendiri. Selain itu mengupayakan agar bahasa ibu yang berkembang di berbagai suku bangsa yang ada di dunia ini tidak terdesak oleh bahasa asing dan terus tumbuh serta dipakai oleh masyarakat yang menggunakannya. Karena bahasa ibu merupakan bagian dari budaya dunia yang tidak boleh punah. Demikian juga dengan bahasa Sunda yang merupakan bagian dari budaya Sunda harus tetap hidup dan terus berkembang sebagai harta dari budaya dunia.
            Bahasa Sunda yang berkembang di daerah provinsi Jawa Barat, provinsi Banten dan daerah provinsi Jawa tengah bagian barat merupakan bahasa ibu yang patut kita lestarikan. Karena bahasa Sunda merupakan bahasa yang menjadi lambang identitas atau jati diri orang Sunda. Bahasa Sunda adalah bahasa ibu (basa indung) artinya bahasa pertama yang diperoleh anak dari ibunya atau keluarganya melalui pembelajaran informal sejak anak itu mulai belajar berbicara (Prawirasumantri, dkk, 2003:17).
            Bahasa Sunda termasuk bahasa daerah yang masih dipelihara dan digunakan oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu bahasa Sunda dilindungi oleh Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 bab XV dalam penjelasannya berbunyi “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh Negara. Bahasa-bahasa itu merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.
            Bukti bahwa bahasa Sunda dipelihara adalah dengan adanya upaya dari pemerintah memasukan bahasa Sunda sebagai mata pelajaran muatan lokal bahasa Sunda yang diajarkan di sekolah-sekolah, mulai dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA, bahkan di perguruan tinggi seperti UNPAD,UPI dan UNPAS juga ada program studi bahasa Sunda. Selain itu juga upaya pemeliharaan bahasa Sunda terlihat di lembaga swadaya masyarakat, LBSS, Balai Pengembangan Bahasa Daerah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, dan Balai Bahasa Bandung serta dari penerbit yang menerbitkan buku-buku bahasa Sunda. Dengan keluarnya Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah serta Petunjuk Pelaksanaanya, merupakan bukti bahwa pemerintah Provinsi Jawa Barat memelihara bahasa-bahasa daerah yang berada di provinsi Jawa Barat termasuk bahasa Sunda.
            Namun kenyataannya sekarang ini banyak masyarakat Sunda yang sudah tidak menggunakan atau enggan menggunakan bahasa Sunda terutama di perkotaan. Ada keluarga orang Sunda di keluarganya tidak memakai bahasa Sunda, walau mereka berada di lingkungan orang Sunda. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan seorang tokoh Sunda H. Elin Syamsuri ketika diwawancarai oleh majalah “Cupu Manik”, yang menyatakan bahwa “Ayeuna mah indung bapa sanajan ti Sunda, geus teu ngaromong basa Sunda di imahna.” ( sekarang walaupun ayah dan ibunya orang Sunda, sudah tidak berbicara lagi bahasa Sunda di rumahnya) (Cupu Manik, edisi Januari 2008, hal. 56).
            Hasil penelitian Balai Bahasa Bandung diperoleh bahwa di kota Bandung yang menggunakan bahasa Sunda di lingkungan keluarganya hanya 40% (Galura edisi minggu II Pebruari 2009, hal.3). Ini menunjukkan bahwa di kota besar seperti kota Bandung yang merupakan pusat kebudayaan Sunda dan merupakan lahirnya Bahasa Sunda lulugu (bahasa standar), sudah banyak di lingkungan keluarganya tidak menggunakan bahasa Sunda. Padahal kota Bandung seperti yang telah dijelaskan di atas adalah kota yang semula bahasanya dijadikan bahasa lulugu, seperti yang jelaskan pada Staatsblad (Lembaran Negara) No. 125 Tahun 1893, ayat 6, ditetapkan bahwa “bahasa pribumi yang harus diajarkan di sekolah ialah bahasa Sunda Bandung” Dengan peraturan itu timbulah sebutan basa sakola, artinya bahasa yang diajarkan di sekolah untuk bahasa Sunda dialek Bandung. Kemudian, sebutan basa sakola berubah menjadi bahasa lulugu “bahasa standar” atau basa Sunda lulugu (Prawirasumantri, dkk. 2003:16).
Suasana seperti itu juga dialami oleh penulis ketika penulis mau ke kampus Universitas Pendidikan Indonesia taun 2006 lalu, naik angkot jurusan Cicaheum-Ledeng. Di dalam angkot tidak ada seorang pun yang menggunakan bahasa Sunda, padahal penulis yakin di dalam angkot itu banyak orang Sunda. Itu terlihat ketika mereka berbicara. Waktu itu yang berbicara para gadis kuliahan atau mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di Bandung. Karena menyimak dari pembicaraannya mereka membicarakan tentang perkuliahan, kampus dan tugas kuliah serta dosen pengajarnya. Dalam pembicaraannya mereka sering menyebut kecap panganteb seperti kata mah, atuh dan teh. Dalam bahasa lain tidak ada kecap panganteb, yang ada hanya dalam basa Sunda. Kelihatannaya mereka sudah enjoy dengan bahasa yang mereka pakai. Jauh berbeda ketika penulis naik angkot  pada tahun 1985 dengan tujuan yang sama yaitu ke kampus UPI yang pada waktu itu masih IKIP Bandung, penumpang dan supir masih menggunakan bahasa Sunda. jadi, suasana kota priangan masih terlihat jelas, jati diri urang Sunda masih terlihat.
            Banyak para inohong Sunda mengkhawatirkan keberadaan bahasa Sunda yang sebagian orang Sunda di perkotaan tidak menggunakannya. Tetapi, sebenarnya tidak usah terlalu dikhawatirkan, karena di pilemburan masyarakatnya 100% masih menggunakan bahasa Sunda.
            Walaupun di pilemburan masyarakatnya 100% masih menggunakan bahasa Sunda, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat Sunda pun pada saat ini berada dalam suasana multibahasa, paling tidak dwibahasa yakni berdampingan dengan bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional. Suasana inilah yang harus dicermati oleh pihak yang ingin melestarikan bahasa Sunda, termasuk para guru yang diberi tugas mengajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda.
            Guru sebagai ujung tombak dunia pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam melestarikan budaya Sunda. Untuk itu para guru diharapkan dapat menjembatani dalam menyampaikan pesan terhadap generasi muda untuk melestarikan budaya Sunda khususnya bahasa Sunda.
Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda menyadari benar bahwa peranan bahasa daerah sekarang jauh amat kurang bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia, karena kedudukan dan fungsinya yang berbeda. Untuk itulah maka guru Bahasa dan Sastra Sunda harus mempunyai keterampilan dan langkah strategi yang dapat membangkitkan minat siswa dalam belajar Bahasa dan Sastra Sunda. Langkah Strategis dalam pembelajaran bahasa Sunda adalah dengan cara lebih mengutamakan keterampilan membaca pada siswanya. Dengan membaca bacaan bahasa Sunda nantinya siswa akan banyak mengenal bahasa Sunda sehingga menimbulkan minat dalam diri siswa terhadap bahasa dan sastra Sunda. Konsekwensinya dari penjelasan di atas adalah di sekolah harus tersedia buku-buku bacaan yang berbahasa Sunda. Karena kalau tidak ada buku bacaan dalam bahasa Sunda, siswa tidak akan memulai membaca buku bahasa Sunda dan minat siswa terhadap bahasa dan sastra Sunda tidak akan ada. Di sinilah peranan sekolah melalui perpustakaan sekolah mencari atau mengadakan bagaimana caranya supaya di sekolah diadakan buku-buku bacaan berbahasa Sunda.
Dengan tumbuhnya minat baca siswa terhadap bacaan berbahasa Sunda, nantinya timbul dalam diri siswa untuk mencoba menulis dan berbicara dalam bahasa Sunda yang baik serta menyimak hal-hal yang disampaikan dengan media bahasa Sunda.
Guru bahasa dan Sastra Sunda yang mengajar di sekolah-sekolah kebanyakan bukan jebolan dari jurusan Sunda. Ini terbukti di kabupaten penulis mengajar saja yaitu di Kabupaten Tasikmalaya, kurang dari 50% guru bahasa Sunda bukan lulusan dari jurusan Bahasa Sunda. Tetapi, dengan keinginan yang tulus untuk mengajarkan bahasa dan sastra Sunda para guru tersebut patut dihargai, karena mereka sudah ikut dalam melestarikan budaya Sunda khususnya bahasa Sunda.***

 Dimuat dina Koran "Tribuana" Koran Tasik 2010

2 komentar:

Mamah Vfun mengatakan...

artikelna sae kanng pipin,ngabantos pisan .kantenan abi ayeuna janten guru b.sunda .htrnhn

Pipin Dasripin mengatakan...

Hatur nuhun kana komentarna. Sae pisan atuh janten guru basa sunda teh, pamugi bae atuh tiasa ngamumule basa katur budaya sunda ngalangkungan pangajaran basa sunda. wilujeng...!

Posting Komentar